Minggu, 11 Agustus 2013

Novel WHY ALWAYS ME Part 03 By. Orinthia Lee

BIANCA
   Namaku Bianca. Hanya Bianca tanpa nama belakang. Aku tah tahu apakah saat membuatkanku akte kelarian, Papa dan Mama sama-sama lupa memberiku nama belakang, atau mereka sudah punya firasat bahwa suatu hari nanti mereka akan bercerai. Dulu, bagiku tidak punya nama belakang itu tak menyenangkan. Rasanya seperti tidak punya jati diri--tak jelas anak keluarga mana. Tapi sekarang, setelah orang tuaku bercerai, aku malah lega karena aku tak perlu repot-repot memikirkan mau memakai nama keluarga Papa atau keluarga Mama.
   Hampir semua orang kecuali Mama dan guru-guru di sekolah memanggilku Bian atau Yan. Sahabatku, Anne, dan kakaknya--Travis--malah memanggilku dengan Bi saja. Lebih singkat,padat,dan jelas, kata mereka. Aku sendiri tidak masalah dipanggil apa saja asalkan masih merupakan bagian dari namaku, bukan asal comot dari nama hewan atau buah-buahan. Ini bukan gurauan, aku pernah dengar seorang murid cewek di kelas sebelah--3 IPS--dipanggil dengan nama Gugu (versi imut dari Guguk) karena cewek itu suka sekali sama anjing. Aku suka kucing, suka sekali. Untung saja tidak ada seorang pun yang nekat memanggilku Meong.
   Usiaku kini enam belas tahun. Sudah sebelas tahun berlalu sejak Papa pergi dari rumah malam itu. Papa sudah menikah lagi dengan Erlita--wanita yang merebutnya dari kehidupanku dan Mama. Papa memiliki tiga anak dari Erlita yang semuanya adalah laki-laki. Papa sering mengirimiku sirat dengan rutin setiap bulan--berikut dengan foto-foto yang menunjukkan bahwa dirinya sudah berbahagia dengan keluarganya yang baru. Lewat surat-suratnya, Papa memperkenalkan aku dengan ketiga anaknya--adik-adikku, kata Papa. Bagiku Papa jadi seperti orang tukang pamer.
   Di salah satu foto, Papa tersenyum lebar sambil merangkul Erlita yang berambut pendek sebatas dagu, kulitnya putih, kedua matanya besar dan terlihat jauh lebih muda dari Papa. Aku ingat pernah melihat wanita itu datang ke rumah, memperkenalkan diri sebagai rekan kerja papa di kantor. Di depan mereka berdua berdiri tiga orang anak laki-laki, usia yang tertua hanya terpaut tujuh tahun dariku, yang artinya dia lahir dua tahun setelah papa bercerai dengan Mama. Namanya Ronald. Dua sisanya adalah Thomas dan Thimothy--si kembar--yang berusia delapan tahun sekarang. Memandangi foto itu membuatku gusar hingga langsung membuangnya ke tempat sampah setelah menjadikan foto itu sebuah gumpalan besar. Dengan mengirimkan foto itu, seolah-olah Papa sedang menyindir aku dan Mama dengan memamerkan keluarga barunya. Seolah-olah Papa ingin membuatnya bahagia seperti hidup dengan mereka. Menyebalkan!
   Kebohongan Papa terlalu menyakitkan bagi kami berdua. Meninggalkan borok dalam hati kami yang mungkin takkan pernah bisa disembuhkan. Di hadapanku dan Mama, Papa selalu tersenyum. Dengan mudah Papa mengatakan betapa ia mencintai kami berdua, betapa ia tak bisa hidup jika kami tak ada karena kami adalah dunianya. Tapi pada saat yang sama, ia menjalin hubungan dengan wanita lain, merajut mimpi untuk membangun dunia lin sama sekali asing untukku. Siapa yang tahu apa yang Papa ucapkan pada wanita itu? Kata-kata yang sama dengan yang diucapkannya pada kami, mungkin?
   Aku membencinya. Ajakannyauntuk bertemu sekali waktu selalu kutolak mentah-mentah. Tapi setiap kali melihat Baba masih tersandar di tempat tidurku, aku pun menyadari bahwa ada sebagian dari diriku yang masig mengharapkan Papa kembali ke rumah dan meninggalkan Erlita beserta anak-anaknya. Barangkali keinginanku ini egois, tapi aku tak peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar